Jumat, 18 November 2011

tugas Pajak

TUGAS AKHIR
PERPAJAKAN
PRO DAN KONTRA PAJAK WARTEG DKI JAKARTA


OLEH:
NAMA           : RENA SYAFRITA
NIM/BP          : 13029 / 2009
PRODI           : AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
PRO DAN KONTRA PAJAK WARTEG DKI JAKARTA

A.    Pertimbangan Foke tentang Pajak Warteg 10%
“Pajak Warteg” sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pajak ini sudah ada sejak 2003 lalu. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak Kabupaten/Kota dibagi menjadi, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Untuk pajak restoran di dalamnya menyebutkan warung, dalam hal ini yaitu semua yang menyediakan jasa makanan dan minuman.
 “Sebenarnya dasar pengenaan pajak untuk warung kecil dalam pajak restoran sudah berlaku sejak 2003. Kemudian ditegaskan kembali dalam ketentuan dengan menyebut warung, kafetaria, dan semua yang menyediakan jasa makanan dan minuman, wajib kena pajak,” papar Ketua Balegda DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana kepada okezone, belum lama ini.
Tak hanya pro dan kontra yang timbul dari bergulirnya wacana “pajak warteg”, melainkan juga pertanyaan akan lari kemana hasil pengumpulan pajak tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan untuk mengkaji rencana penerapan pajak terhadap warung Tegal (warteg) 10 persen.
Dalam acara Silaturrahmi dalam rangka peringatan hari kesatuan gerak PKK ke-38 tingkat Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 tersebut, Foke mengatakan, pihaknya baru sekadar membahas peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi terkait jenis usaha kecil dan menengah.
Seperti diberitakan sebelumnya, pajak 10 persen akan diterapkan kepada pengusaha jasa makanan di DKI setelah jajaran Dinas Pelayanan Pajak DKI melakukan pendataan terhadap warteg maupun warung makan lain yang bisa dikenakan pajak.

B.     Ketidakkompakan DPRD DKI Jakarta Mengenai Pajak Warteg
Kebijakan baru Pemprov DKI Jakarta yang bakal menarik pajak dari warung tegal alias warteg, langsung menjadi kontroversi. DPRD DKI Jakarta setuju dengan aturan baru itu. Asas keadilan menjadi alasan.
Aturan pajak untuk warteg ini akan tercantum dalam Perda Pajak Restoran yang saat ini sudah selesai dibahas di DPRD DKI Jakarta. Namun perda tersebut belum disahkan. Rencananya, Pemprov DKI Jakarta juga akan membuat Pergub untuk khusus mengatur soal pajak warteg ini.
Perda tersebut merupakan turunan dari UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 22 berbunyi pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Sedang pasal 23 berbuyi restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Namun, Politisi di DPRD DKI Jakarta ternyata tidak seiya sekata soal rencana penarikan pajak Warteg dan teman-temannya. Bahkan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua tidak yakin aturan itu akan berjalan maksimal.
Inggard, Politisi asal Partai Golkar itu mengatakan, banyak sekali kebijakan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk membenahi Ibukota. Tapi sayangnya, dari sekian banyak aturan dan rencana itu, masih jauh dari maksimal. Kalau pun memang pajak untuk Warteg itu harus berlaku, politisi Golkar itu menyarankan agar nilainya dibedakan dengan pajak untuk usaha makro.

Perlu kebijaksanaan tarif, mungkin harus ada aturan yang jelas hotel berapa, usaha mikro berapa, dan harus diintensifkan terhadap wajib pajak yang ada lebih optimal. Sebenarnya, jika memang beban pajak itu benar-benar digunakan untuk menambahkan kas daerah, tidak ada yang salah dengan usulan itu. Tapi apakah benar semua beban pajak yang diterima selama ini benar masuk ke kas daerah? Itu yang masih menjadi tanda tanya.

C.    Empat Opsi Pajak Warteg DPRD DKI Jakarta
Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta telah memiliki 4 opsi terkait pajak bagi Warung Tegal (Warteg). Opsi tersebut siap disosialisasikan.
-          Opsi pertama yang akan diusulkan Balegda adalah kemungkinan menghapus rencana pengenaan pajak warteg sebesar 10 persen tersebut.
Namun demikian, hal tersebut agak sulit dilakukan mengingat pengenaan pajak kepada warteg adalah amanat UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
-          Opsi kedua akan ditangguhkan sementara dulu pengenaan pajak ini sampai kondisi ekonomi lebih baik. Itu berarti tidak ada batas waktu yang jelas.
-          Opsi ketiga yang mungkin lebih relevan, meningkatkan batas omzet warteg. Bila sebelumnya dipatok Rp 60 juta sebagai batas warteg kena pajak atau tidak, maka di opsi ketiga ini, batas tersebut akan dinaikan.
-          Opsi keempat akan kita turunkan pajaknya tidak 10 persen, tapi itu pun menunggu kajian dan persetujuan bersama.

D.    Beberapa Alasan Kenapa Pajak Warteg Tidak Dapat Diterapkan
Pemprov DKI berencana mengenakan pajak restoran sebesar 10 persen kepada usaha warteg (warung Tegal) per 1 Januari 2011. Kebijakan yang bertujuan untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) ini pun mendapat kritikan tajam.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pajak restoran yang akan diperluas ke usaha warteg dan usaha sejenisnya ini tidak bisa diterapkan. “Dari sisi penyusunan sebuah produk hukum, paling tidak ada tiga alasan kenapa aturan (Perda)ini tidak bisa diterapkan,” ujar peneliti LBH Jakarta Edy Halomoan Gurning saat berbincang dengan detikcom, Minggu (5/12/2010) malam.
Alasan pertama menurut Edy, secara subtansi Perda Pajak Restoran sudah salah sebab tidak melalui proses public hearing dengan masyarakat. Akhirnya Perda yang bersumber dari UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini banyak mendapat pertentangan dari masyarakat bawah, terutama bagi para pengusaha warteg.
Kedua, soal kultur, masyarakat penikmat warteg adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Bahasa pajak, buat mereka adalah sesuatu yang sangat membebani. Artinya budaya makan di warteg belum siap untuk dikenai pajak, ini beda dengan restoran besar.
Ketiga, struktur dalam Perda Pajak Restoran tersebut tidak memungkinkan dilakukan pengenaan pajak, karena akan terbentur masalah teknis. Tidak ada mekanisme pembukuan yang jelas dalam pengelolaan bisnis rumahan ini. Hal ini rentan terhadap korupsi.
Setiap makan, konsumen dipungut 10 persen pajak, dalam satu bulan apa ada jaminan pajak yang terkumpul ini akan disetorkan semua. Selain itu, ini juga jadi alat korupsi bagi oknum pejabat pajak DKI, karena bisa saja ada main mata di antara mereka.

E.     Warteg Beromset Lebih Dari 60 juta/tahun yang Akan Dikenakan Pajak
Setelah mendapat sorotan dari berbagai pihak, Pemprov DKI akhirnya merubah besaran omset pengusaha warteg. Wajib pajak yang akan masuk dalam daftar wajib pajak bukan lagi mereka yang beromzet Rp167.000/hari, melainkan menjadi Rp500.000 per hari.
Artinya jika sebelumnya pajak retribusi dikenakan pada pelaku usaha restoran beromset Rp60 juta pertahun, jumlah tersebut dinaikkan menjadi Rp187.500.000 pertahun. Bukan hanya pengusaha warteg saja, kebijakan penetapan pajak 10% bagi juga berlaku bagi semua pengusaha makanan dan minuman berbayar, termasuk di dalamnya kantin, kafetaria, dan warung makanan minuman pinggir jalan.
Keputusan ini terkait dengan Undang-undang, yaitu:
·         Pasal 22 Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
·         Pasal 23 UU Nomor 28 tahun 2009 berbunyi, restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
Pajak Terbaru, Peraturan Pajak Terbaru, Pajak Warteg Warung Tegal, Warteg Jakarta Dikenai Pajak Restoran 10%, Tarif Pajak Warteg, Kapan PAjak Warteg Mulai Berlaku, Pasal 1 UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Termasuk di dalamnya kewajiban-kewajiban bagi para wajib pajak ini untuk menyertakan transaksi jual belinya dengan menggunakan bon, atau catatan-catatan yang lebih sederhana sebagai bukti adanya transaksi jual beli setiap harinya.
Sementara itu dalam laporan akhir tahun DPRD DKI Jakarta, Ketua DPRD DKI, Ferrial Sofyan, mengatakan pemberlakuan pajak restoran untuk warteg ataupun rumah makan lainnya masih ditunda. Menurutnya saat ini pihaknya masih akan mengawasi pelaksanaan Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang wajib dilaksanakan pengusaha makanan dan minuman termasuk di dalamnya warteg.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar